REVITASILASI BENOA: ANTARA PERUSAKAN ALAM, PERUSAKAN BUDAYA DAN KESERAKAHAN?


Saya menemukan tulisan ini yang sebenarnya adalah tugas visitasi dan aktualisasi pada saat saya diklat prajabatan tahun lalu (dan sepertinya pernah juga menjadi topik tulisan di mana ya saya lupa). Pada saat itu tema visitasi yang saya angkat adalah tentang Revitalisasi Bali atau bahasa kerennya adalah reklamasi di Benoa Bali. Latar belakang kenapa tiba-tiba saya teringat dengan topik ini dan lalu mencari materi-materi tulisan iseng di folder labtop saya adalah karena pembahasan di group WA yang saya ikuti kebetulan adalah tentang wacana ini. Selain itu beberapa waktu lalu, saya ditawari oleh rekan sekantor dan kebetulan sebidang dengan saya untuk ikut bergabung di dalam group perencana pembangunan reklamasi di Teluk Benoa Bali. Kebetulan memang bidang reklamasi adalah bidang di laboratorium kampus saya. Karena saya adalah salah satu orang yang bagaimanapun kondisinya tetap menolak revitalisasi Bali, lebih tepatnya saya menolak terekploitasinya Bali secara besar-besaran di bidang pariwisata yang kebarat-baratan dan merusak kondisi asli dan alam Bali, sehingga saya enggan untuk menerima tawaran tersebut. Saya meng-copy paste hasil tulisan saya berikut ini.

PEMBAHASAN MASALAH

Latar belakang (Hasil visitasi)

Reklamasi Tanjung Benoa menjadi pembicaraan hangat belakangan ini. Setelah suksesnya pembangunan jalan tol sisi laut Nusa-dua “Bali Mandara”, pemerintah Bali seolah ingin lebih mengembangkan sayapnya di sector pembangunan infrastruktur Bali kedepan yang mengatasnamakan kemajuan ekonomi di sector pariwisata. Namun, penolakan-penolakan di lapisan masyarakat local Bali terus bermunculan akhir-akhir ini. Mereka beranggapan bahwa reklamasi yang digaungkan oleh pemerintah Bali dapat menyebabkan dampak buruk antara lain abrasi, banjir, kerusakan konservasi mangrove sisi pantai dan lain sebagainya. Selain itu, reklamasi yang akan dilakukan ini dianggap malah hanya akan menguntungkan pihak tertentu saja dan malah justru merugikan warga local. Namun,ada beberapa kalangan setuju dengan adanya reklamasi ini yang dianggap dapat menyaingi reklamasi Sentosa Island, Singapore. Pro dan kontra terus bermunculan untuk terlaksananya pembangunan ini.

Rencana Reklamasi ini dilatar belakangi oleh Pulau Pudut yang belakangan nyaris tenggelam akibat perubahan alam. Kondisi ini meresahkan warga Desa Tanjung Benoa karena sejumlah alasan. Kekawatiran utama adalah adanya gelombang besar yang kemungkinan akan langsung menerjang pesisir barat Tanjung Benoa tidak akan bisa dihalangi lagi oleh pulau Pudut. Jika Pulau Pudut bisa dikembalikan lagi keberadaanya melalui reklamasi, maka harapan warga Tanjung Benoa adalah selain terhindar dari bencana alam berupa gelombang besar atau tsunami, di lahan Pulau Pudut juga bisa dibangunnya sejumlah fasilitas seperti sekolah, puskesmas dan konservasi penyu. Mereka pada dasarnya menyetujui reklamasi asalkan material reklamasi tidak diambil dengan cara pengerukan di laut sekitarnya, melainkan didatangkan dari luar wilayah tersebut. Tetapi oleh pemerintah Bali, pembangunan ini diserahkan kepada perusahaan pembangunan nasional. Pembangunan justru mengarah kepada mega proyek dan pembangunan besar-besaran layaknya pembangunan sentosa island di Singapore dengan dibangunnya pelbagai fasilitas rekreasi berskala internasional terdapat di dalamnya. Hal inilah yang menimbulkan keresahan masyarakat sekitar.

Selain kondisi tersebut diatas, kemudian dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 51 Tahun 2014 terkait perubahan terhadap peruntukan ruang sebagian kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang merupakan bagian dari Kawasan Teluk Benoa, Bali. Perpres yang merupakan revisi dari Perpres No. 45/2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Sarbagita (Denpasar, Badung, Gianyar dan Tabanan), menyebutkan perubahan sebagian status zona kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Kawasan Teluk Benoa, serta arahan umum pemanfaatan ruang kawasan tersebut. Perubahan peraturan tersebut justru seolah-olah mematahkan semangat konservasi mangrove pesisir pantai yang didengungkan dan diresmikan satu tahun sebelumnya. Sehingga perubahan Peraturan Presiden ini malah menimbulkan kecurigaan di kalangan masyarakat.

Sebelumnya, gubernur Bali berpendapat bahwa reklamasi yang akan dilakukan di Tanjung Benoa justru merupakan suatu usaha untuk masa depan Bali. Dengan adanya reklamasi ini, menurutnya, akan menambah luas area Bali khususnya Bali Selatan sehingga berbanding lurus dengan peningkatan lapangan pekerjaan khususnya di sector pariwisata. Selain itu, area reklamasi ini digadang-gadang menjadi destinasi wisata baru bagi masyarakat dunia sehingga terjadi peningkatan pendapatan daerah di bidang pariwisata. Gubernur berpendapat bahwa dengan adanya pengembangan wilayah dengan reklamasi ini, sector ekonomi Bali akan semakin meningkat untuk kedepannya. Namun iming-iming kebangkitan ekonomi pada sector pariwisata oleh Gubernur Bali ini tidak serta merta membuat rakyat setuju dengan rencana pembangunan ini. Penolakan justru semakin gencar terjadi.

Beberapa pro dan kontra tentang reklamasi ini membuat kita teringat kembali dengan reklamasi yang juga pernah dilakukan di kawasan Benoa beberapa tahun silam. Reklamasi semacam ini pernah dilakukan untuk perluasan Pulau Serangan (tahun 1995-1998) dari luas wilayah 111 hektar menjadi 481 hektar. Berdasarkan beberapa kajian dan study lapangan, reklamasi Pulau Serangan memiliki beberapa dampak negatif yang perlu dijadikan pertimbangan dan pembelajaran untuk pelaksanaan reklamasi berikutnya. Beberapa dampak negative yang terjadi menurut Tim Kajian bidang Ilmiah dan Litbang Divisi I BE SMFE Unud adalah : 1) Kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh hilangnya mata pencaharian penduduk yang semula merupakan nelayan. Perubahan profesi ini disebabkan oleh hilangnya ekosistem ikan di wilayah pesisir akibat dampak reklamasi; 2) Adanya endapan lumpur yang merupakan dampak dari adanya pengerukan di beberapa kawasan untuk material reklamasi. Endapan lumpur ini menyebabkan pendangkalan dasar laut; 3.Terjadinya perubahan arus laut, yang mengakibatkan pengikisan di satu sisi dan munculnya daratan baru di tempat lain. Hasil pantauan SKPPLH di Sanur,pantai yang rata-rata mengalami erosi satu meter per 10 tahun, kini tidak memerlukan waktu setahun untuk mengalami erosi lebih dari tujuh meter.

Beberapa dampak negative yang tersebut di atas seharusnya menjadi bahan pertimbangan pemerintahan untuk melakukan pembangunan reklamasi berikutnya. Selain itu, hasil penelitian Puslit Geoteknologi LIPI tahun 2010 menunjukkan bahwa wilayah Bali Selatan, khususnya sekitar Teluk Benoa seperti Serangan, Benoa, Bualu, Tanjung Benoa, merupakan daerah likuifaksi atau daerah rawan amblesan. Apabila reklamasi dilanjutkan, kondisi ini akan membahayakan wilayah sekitar Benoa apalagi bila terjadi gempa besar nantinya. Apalagi luas area reklamasi yang tidak sedikit yaitu ±800 Ha. Bahkan, seorang aktivis lingkungan berpendapat “reklamasi ini akan hanya menguntungkan pihak investor karena lebih banyak hal komersial dari pada aksi penyelamatan lingkungan yang di sebenarnya diinginkan rakyat Bali”.

 Reaksi masyarakat Bali (Hasil visitasi)

Berbagai reaksi masyarakat bermunculan, ada yang mendukung dan banyak juga yang menolak. Sebagian besar masyarakat khususnya masyarakat asli Bali yang merasakan sendiri dampak negative dari adanya reklamasi (yang kini di ganti nama menjadi Revitalisasi, walau inti dan maknanya sama) menolak keras rencana revitalisasi tersebut. Beberapa reaksi penolakan masyarakat membentuk suatu komunitas. Komunitas-komunitas ini tersebar di sembilan desa di Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan dan melakukan berbagai kegiatan.

 Sebelumnya, penolakan muncul dari Desa Tanjung Benoa, Kelan, Sanur, Suwung, dan Sukawati. Penolakan itu dikoordinir para pemuda. Di Desa Kelan, di sebelah Bandara Ngurah Rai, misal, muncul baliho di pinggir jalan. Tulisannya,” Desa Kelan Menolak Reklamasi. Melawan atau Tenggelam.” Di Suwung, baliho serupa di pinggir Jalan By Pass Ngurah Rai. “Jangan Tenggelamkan Kami Bapak Presiden SBY. Bali Tolak Reklamasi Batalkan Perpres No. 51/2014.” Tak beda di Sukawati, Gianyar, berjarak 20 km dari Teluk Benoa.

 Permasalahan yang diangkat (Perasaan dan kesan)

Reklamasi ini tidak hanya mempertimbangkan kondisi lingkungan masa kini dan masa depan. Terlepas dari permasalahan lingkungan yang berkaitan dengan hal-hal teknis,pembangunan ini juga harus mempertimbangan hal-hal yang berkenaan dengan kehidupan social budaya masyarakat Bali kedepannya. Dengan adanya reklamasi ini, sector pariwisata tumbuh hingga membuka 200.000 lapangan pekerjaan baru. Dengan kondisi tersebut, lalu muncul beberapa pertanyaan:

  1. Apakah lapangan pekerjaan baru ini justru akan membahagiakan Bali kedepannya?
  2. Apakah Bali sudah siap dengan persaingan pariwisata yang meningkat terlalu drastis dalam kurun waktu singkat?
  3. Apakah pembangunan pariwisata saja yang harus dikedepankan untuk kemajuan Bali kedepan, bagaimana dengan sector lainnya?
  4. Apakah Bali perlu adanya reklamasi?
  5. Apakah reklamasi ini justru akan menyejahterakan masyarakat local? Atau malah menyejahterakan investor luar?
  6. Apakah Bali akan semakin terjual oleh asing apabila pembangunan hanya diutamakan pada sector pariwisata saja?
  7. Apakah perasaan cinta tanah air dan bangsa dapat tercermin hanya dari eksploitasi besar-besaran dan menjual nama Bali atas nama pariwisata, tetapi nyatanya malah merusak Bali?

Terlepas dari permasalahan lingkungan, secara social- budaya, kondisi Bali sudah semakin krisis. Pembangunan Bali yang terkonsentrasi hanya di sector Pariwisata saja membuat Bali seolah-olah sulit bernafas. Berkembangnya sector pariwisata menjadikan semakin banyaknya wisatawan dengan berbagai budaya masuk ke Bali. Budaya masuk tanpa terfilter dengan baik. Bali yang dulunya menjadi Paradise island ataupun island of God dan island of thousand temple kini justru menjadi pulau bebas yang menjadi daerah tujuan penyebaran obat-obatan terlarang, pulau free sex ataupun sebutan-hebutan hina lainnya. Sehingga dapat dikatakan bahwa Pulau Bali semakin kehilangan taksunya, semakin memudar kecantikannya. Apakah reklamasi akan mengembalikan taksu Bali kedepan, atau malah menghancurkan Bali???!

 Dampak yang terjadi (Perasaan dan kesan)

Tujuan dari revitalisasi Bali memang terlihat sangat mulia yaitu: menyejahterakan masyarakat dengan membuka lapangan pekerjaan dari sektor pariwisata. Tetapi dilihat dari pembahasan sebelumnya bahwa ternyata dampak negative juga akan terjadi. Beberapa dampak negative tersebut sudah mulai terasa setelah tahun 90an dimana kondisi perekonomian Bali mulai ditopang sebagian besar atau hampir semuanya dari bidang pariwisata. Beberapa dampak kecil yang dapat dilihat oleh masyarakat Bali yang tinggal di dalam maupun diluar Bali adalah:

Dampak social masyarakat

  • Mindset masyarakat Bali bahwa sector ekonomi hanya di bidang pariwisata
  • Mindset masyarakat Bali bahwa wisatawan asing lebih layak dihormati dibandingkan orang Indonesia sendiri.
  • Mindset masyarakat Bali untuk lebih melayani wisatawan asing (yang dianggap lebih memiliki kemampuan finansial tinggi) dibandingkan wisatawan local.
  • Banyaknya aset-aset Bali yang dimiliki oleh warga asing.
  • Banyaknya hotel-hotel mewah di sepanjang pantai yang dimiliki oleh orang asing tetapi mengatas-namakan warna local.
  • Munculnya banyak sekali tempat-tempat hiburan malam di kawasan tertentu yang menjadikannya sebagai tempat mengkonsumsi minuman keras dan mengkonsumsi narkoba.

Dampak lingkungan

  • Pembangunan yang tidak terkendali menjadikan banyak area hijau di betonkan/ dibangun fasilitas-fasilitas wisata.
  • Kemacetan parah dijalan-jalan menuju kawasan wisata.
  1. Nilai-Nilai Nasionalisme dan komentar
  • Rencana revitasilasi di Bali yang memunculkan beberapa pendapat serta pro dan kontra menjadikan penulis ingin sedikit menggali permasalahan tersebut dalam sebuah nilai-nilai Nasionalime.
  • Rencana revitalisasi yang akan dilakukan tersebut masih belum mencerminkan nilai Nasionalisme kemanusiaan yaitu tentang saling menghormati dan tidak diskriminatif. (Mindset masyarakat Bali bahwa wisatawan asing lebih layak dihormati dibandingkan orang Indonesia sendiri)
  • Rencana revitalisasi yang akan dilakukan tersebut masih belum mencerminkan nilai Nasionalisme Ketuhanan yaitu nilai Religius (Munculnya banyak sekali tempat-tempat hiburan malam di kawasan tertentu yang menjadikannya sebagai tempat mengkonsumsi minuman keras dan mengkonsumsi narkoba). Kondisi ini dapat menyebabkan masyarakat local terpapar oleh nilai-nilai Barat negative yeng cenderung jauh dari nilai Nasionalisme ketuhanan.
  • Rencana revitalisasi yang akan dilakukan tersebut masih belum mencerminkan nilai Nasionalisme Kemanusiaan yaitu saling menghormati, tidak diskriminasi dan humanis.(Banyaknya hotel-hotel mewah di sepanjang pantai yang dimiliki oleh orang asing tetapi mengatas-namakan warna local)
  • Rencana revitalisasi yang akan dilakukan tersebut masih belum mencerminkan nilai Nasionalisme persatuan yaitu cinta tanah air dan mengutamakan kepentingan public (
  • Rencana revitalisasi yang akan dilakukan tersebut masih belum mencerminkan nilai Kerakyatan yaitu Musyawarah mufakat karena rencana pembangunan ini tidak melalui persetujuan masyarakat Bali dan tidak melalui pengambilan aspirasi seluruh masyarakat Bali.
  • Rencana revitalisasi yang akan dilakukan tersebut masih belum mencerminkan nilai Keadilan yaitu Tidak serakah. Keserakahan pemegang wewenang dan pemegang keputusan untuk melakukan pembangunan yang terlalu besar-besaran padahal masyarakat belum siap akan dampak yang nantinya terjadi.

About Women

I am nobody who really want to be somebody. Extremely introvert cheerful and easy going girl.. :) Thanks for visiting this blog... ^^

Posted on February 29, 2016, in experince. Bookmark the permalink. 3 Comments.

  1. Btw kamu PNS di mana?

Leave a comment