BALI: Masihkah sebagai pulau Dewata?


baliBali, pulau kecil yang menjadi tujuan wisata manusia seantero bumi. Pulau kecil yang memiliki luas wilayah kuranglebih 5633 km2 yang hanya kurangdari 1% luas wilayah negara Indonesia dan luasnya seper-enampuluh dari luas pulau jawa secara keseluruhan. 1 hari atau 24 jam sudah merupakan waktu yang cukup untuk berkeliling pulau Bali secara keseluruhan, namun belum cukup waktu untuk mempelajari apa yang ada pada masing-masing daerah diBali.

Bali, pulau kecil yang merupakan kampung-halaman orangtua saya sehingga juga merupakan kampung halaman saya. Walau saya lahir,hidup dan besar bukan di Bali namun darah Bali masih kental melekat ditubuh saya. Itulah mengapa, setiap liburan tiba,Bali merupakan jujugan saya untuk pulang kampung sekaligus berwisata. Saya pulang ke Bali setiap liburan yang biasanya jatuh 1 tahun sekali, sehingga bisa dibilang paling tidak saya ke Bali setahun sekali bahkan bisa lebih. Kalau dihitung dari usia saya,apabila saya ke Bali setahun sekali, maka ini adalah kali ke-27 saya menginjakkan kaki ke Bali. Dari tahun ketahun, kondisi Bali mengalami banyak perubahan. Perubahan disana-sini yang kadang membuat saya miris,kadang membuat saya terpana dan kadang juga membuat saya senang dan bangga.

Bali dikenal dengan kemolekan budayanya. Bali dikenal dengan keindahan suasananya. Bali dikenal dengan keramahan adat dan masyarakatnya. Bali dikenal dengan ritualnya yang elok. Sehingga Bali memiliki Taksu/kekuatan yang konon kabarnya bersumber dari penciptaan special Tuhan yang diperuntukkan kepada Pulau kecil ini. Adat Bali memuja Tuhan dengan perpaduan adat setempat yang diakulturasi dengan Agama Hindu. Banyak dibangun tempat suci,tempat ibadah dan tempat-tempat pemujaan sebagai wujud rasa hormat bakti dan terimakasih kepada Sang pencipta. Banyak Pura untuk memuja Tuhan,sehingga disebut sebagai pulau Dewata,pulaunya para dewa-dewi.

(Sumber 1) (Sumber 2)

Bali juga dikenal dengan gudangnya para seniman. Bagaimanapun kondisi masyarakat Bali jaman dulu, nilai seni sangat dijunjung tinggi. Lihat saja segala jenis tarian Bali, pasti bersumber dari kegiatan sehari-hari masyarakat Bali tempo dulu dan segala hal yang berkaitan dengan kehidupan. Sebut saja tari Nelayan yang menceritakan kegiatan nelayan-nelayan pada masa itu; Tari legong kraton yang menceritakan tentang kehidupan masyarakan dikerajaan; Tari cendrawasih,tari manuk rawa,tari belibis adalah tarian-tarian keindahan aktifitas burung-burung yang riang gembira beterbangan dilangit; Tari oleg tamulilingan yang merupakan tarian mesra sepasang kumbang yang memadu kasih. Dan masih sangat banyak lagi tarian-tarian yang terinspirasi dari hal-hal kecil kemudian diramu oleh masyarakat seni bali menjadi sebuah karya seni nan elok pada sebuah tarian. Tarian juga digunakan sebagai wujud bakti dan persembahan kepada Tuhan. Lihat saja, banyak sekali tarian-tarian sacral nan indah yang ditarikan di Pura sebagai “sambutan selamat datang” dan persembahan suatu keindahan kepada Tuhan yang maha Esa.

(Sumber 1) (Sumber 2)

Selain tarian, masyarakat Bali juga menggunakan seni sebagai persembahan wujud terimakasih kepada Tuhan. Kalau kita lihat dibali, banyak sekali bertebaran sajen-sajen yang dirangkai indah yang diperuntukan kepada Tuhan. Sajen indah itu dipadukan dengan tirta amerta (air) yang merupakan wujud sumber kehidupan dan dupa wangi. Orang yang tidak paham dan punya pikiran fanatic sempit, hal tersebut dikatakan sebagai sebuah jalan memuja setan, padahal kalau dipikir secara luas bukan seperti itu makna simbolisnya. Sajen yang merupakan rangkaian janur yang dibuat seindah mungkin lalu kemudian dihias dengan bunga warna-warni merupakan suatu wujud persembahan yang Indah kepada penciptanya. Memang Tuhan tidak pernah meminta, tetapi masyarakat Hindu yang sangat ingin mempersembahan keindahan yang mampu dibuatnya kepada Tuhan sebagai wujud terimakasih atas segala anugrah kehidupan yang diberikan. Sering juga, sajen digabungkan dengan aneka buah-buahan dan jajan-jajanan yang juga merupakan wujud persembahan kepada Tuhan atas segala limpahan karunia kesuburan tanah sehingga manusia dapat menikmati aneka buah-buahan tersebut. Sajen-sajen tersebut dipersembahkan beserta air tirta amerta sebagai sumber kehidupan dan ditambah dupa wangi untuk mengharumkan suasana. Seperti halnya kita yang memakai parfum wangi  supaya terasa segar ,percaya diri dan wangi, begitu jugalah yang dilakukan dalam persembahan, dupa wangi untuk mewangikan dan menyegarkan suasana.

Selain tarian indah dan sesajen indah, Bali juga memiliki keindahan-keindahan lainnya. Gamelan tradisional yang mampu menciptakan alunan music yang indah, pakaian tradisional yang juga indah, bentuk rumah tradisional yang unik, seni lukis,seni pahat dan aneka kesenian rupa lainnya ditambah dengan keindahan alam Bali yang memikat. Itulah mengapa,Bali menggeliat seperti magnet yang mampu menarik para pecinta budaya dan seni. Banyak sekali karya-karya sastra era lampau yang dikarang oleh wisatawan-wisatawan asing yang terpukau dengan kemolekan Bali. Revolt in Paradise (Bali di nusa damai) adalah salah satu buku yang menceritakan tentang keindahan Bali pada era tahun 1900an. Kemudian artikel-artikel tentang Bali lainnya seperti “a Short History of Bali, Indonesia’s Hindu Realm” oleh Robert pringle; Confronting crisis : Impacts and response to the Bali Tragedy (January,2003) ; “cultural tourism” in Bali : cultural performances as tourist attraction oleh Michael Picard; Balinese state and society: Historical, textural and Anthropological Approaches dalam international workshop yang diadakan oleh KITLV, Leiden, 1986; “Bali, Sekala and Niskala oleh F.B. Eiseman Jr ; Tourism and tradition in Bali oleh W.D.McTaggart ; The art and culture of Bali (London: Oxford university press,1977); Cultural involution: Tourists, Balinese and the process of modernization in an Anthropological Perspective (PhD dissertation, brown University, 1973) dan masih sangat banyak lagi tulisan-tulisan tentang Bali baik dalam bentuk artikel singket, novel maupun testimony-testimoni singkat yang dirangkum dalam sebuah buku ulasan.

Banyaknya testimony positif tentang Bali inilah yang menjadikan Bali begitu tenarnya seperti saat ini. Geliat pariwisata semakin meningkat. Sektor-sektor pariwisata menjadi detak jantung utama bagi pertumbuhan ekonomi Bali. Bali semakin menjual (awalnya) karena budayanya. Investor berlomba-lomba mencari label Bali dan mendirikan lumbung-lumbung emasnya dari sector pariwisata Bali. Balipun menggeliat menjadi ladang uang bagi para investor dalam maupun luar negeri. Pembangunan besar-besaran dilakukan di bali atas nama pertumbuhan pariwisata. Pembangunan-pembangunan tersebut belum tentu memikirkan konsep Tri Hita Karana yang merupakan Taksu dan kekuatan Bali itu sendiri. Bali tumbuh kembang bagaikan remaja molek dengan daya tariknya yang sangat memikat.

Pembangunan yang terpusat hanya pada bidang pariwisatapun terlalu merajalela di Bali. 2 kali tragedy Bom Bali sempat membuat jatuh tersungkurnya perekonomian Bali. Kemudian bali berusaha kembali bangkit dan lagi-lagi bangkit dengan keterpusatan pariwisata seperti sebelum tragedy bom. Padahal,tragedy bom tersebut bisa menjadi sebuah pelajaran bahwa perkembangan ekonomi yang hanya terpusat disatu bidang saja (pariwisata) suatu ketika akan hancur tergerus oleh factor-faktor yang bisa datang mendadak bagaikan bom waktu. Hingga kini bali terus menggeliat dan berkembang entah kearah yang lebih baik atau justru sebaliknya.

Kemacetan bali, abrasi pantai, dangkalnya pengetahuan tentang budaya Bali menjadi masalah-masalah yang beberapa tahun belakangan ini terjadi di Bali. Kemacetan Bali yang konon kabarnya dapat terurai dengan pembangunan underpass dewaruci dan toll tengah laut, namun nyatanya tidak diimbangi dengan usaha mengurai macet lainnya. Pembangunan/perluasan bandara yang dapat menambah kapasitas pengguna moda transportasi udara, sehingga dapat menambah sekian kalilipat jumlah pendatang diBali. Atas nama APEC 2013 yang hanya dihelat beberapa hari saja ,pembangunan besar-besaran mengatasnamakan sector pariwisata namun minim manfaat kedepan dilakukan di Bali. Memang, jumlah wisatawan meningkat sehingga devisa bertambah namun tujuan menguraikan kemacetan di jalanan Bali tidak tercapai dan malah akan menyebabkan lebih macet lagi nantinya. Pembangunan secara besar-besaran wisata modern yang buka 24 jam dikawasan Kuta,Nusa dua dan seminyak menjadikan wisatawan penikmat hiburan malam menjadi tumplek-blek diBali khususnya kawasan tersebut. Memang, pendapatan disektor pariwisata semakin meningkat,namun keindahan bali dari sisi seni dan budayanya mulai tergerus oleh kehidupan malam yang bukan merupakan identitas Bali. (katanya sih) Bali masuk 5 besar daerah perdagangan narkotika dan obat-obatan terlarang dunia dan (katanya juga) Bali menjadi daerah yang masuk “nominasi” 5 besar penyebaran HIV dan AIDS di Indonesia.

Abrasi pantai juga menjadi salah satu masalah yang terjadi juga di Bali. Dulu,ketika masyarakat Bali masih berpikiran kolot, keberadaan Pura ditepi pantai dapat menjadikan Bali aman dari masalah-masalah yang dapat timbul karena amukan air laut. Tuhan dapat melindungi pantai dengan didirikannya Pura ditepi pantai. Namun,itu dulu ketika campur tangan teknologi belum ada di Bali. Yang ada hanyalah campur tangan masyarakat yang tunduk dengan campur tangan Tuhan. Tapi kini, teknologilah yang justru menjadi perusak pantai. Reklamasi dan pembangunan kawasan-kawasan pesisir pantai disisi satu dapat menghancurkan pantai disisi lainnya,karena perputaran dan rekayasa arus laut yang terjadi akibat reklamasi yang dilakukan. Pantai Bali sedikit demi sedikit tergerus, begitu juga identitas bali sebagai kawasan seni dan budaya. Bisa jadi beberapa waktu lagi dapat tergerus atas nama kemoderenan.

Identitas bali sebagai pulau Dewata yang sarat akan perpaduan religi, seni dan budaya suatu ketika dapat terkikis akibat kemoderenan jaman. Semakin banyak pula dibangunnya area wisata berdampingan dengan Pura pada kawasan-kawasan yang semula disakralkan. Semakin banyak juga penyimpangan-penyimpangan nilai seni yang dilakukan, tarian sacral dipertontonkan dan dirubah menjadi sejenis tarian erotis. Semakin banyak pula masyarakat Bali yang justru tidak memahami makna dari seni,budaya dan ritual yang mereka lakukan malah bahkan menganggap bahwa seni,budaya dan ritual adalah “bahan jualan” mereka yang diobral murah demi memperoleh pundi-pundi kekayaan. Bali memang berkembang,namun entah berkembang kearah mana.

Bali kini,apakah masih layak dengan gelar sebagai Pulau Dewata?

Gianyar, 12 Agustus 2013

12.04 Wita

About Women

I am nobody who really want to be somebody. Extremely introvert cheerful and easy going girl.. :) Thanks for visiting this blog... ^^

Posted on August 13, 2013, in experince. Bookmark the permalink. 8 Comments.

  1. Sayang sekali ya kalau pembangunan justru “merusak” tatanan masyarakat seperti itu. Aku sebagai orang luar juga merasakannya, dari beberapa kali ke Bali, semakin kesini aku merasakan aura Bali semakin memudar, khususnya di tempat-tempat wisata yang sudah terlalu ramai.

  2. Kalau menurut penulis buku Snowing in Bali, Bali itu adalah island of sex gods dan drugs…

  3. Mmm…mengenai pertanyaan apakah Bali masih menjadi pulau Dewata atau gak…bikin kita miris. Turis datang ke Bali untuk menikmati eksotika budaya tapi justru sekarang klub dan kafe dibanyakin. 😐

  4. Miris emang liat pembangunan tak berotak dimana-mana di Bali dan itu terjadi hampir di seluruh Indonesia kok. Kek sawah-sawah di Ubud, bukannya dibiarkan tetap sbg sawah, eh ini malah byk yg dijadikan villa dan rumah-rumah tinggal. Meskipun saya berpendapat Bali msh cukup tahan mempertahankan budayanya smp skrg dibandingkan daerah lain di Indonesia. Sebulan lalu saya malah posting soal positifnya wisata Bali 😉

  5. pendapat bisa beda2 kalo ngeliat dari kacamata yg beda2 juga.. Kalo tmn sy yg doyan ngedugem dan kehidupan malam,berasa Bali sbg surga mrk. Klo sy ngeliat dr kacamata saya sbg orang Bali dan banyak orang Bali yg cinta budayanya, ngerasa kalau pembangunan yg gede2an di Bali justru malah ngerusak ke-Bali-annya… dari luar, Bali keliatan tahan mempertahankan budaya krn mungkin budaya itulah yg mnjdi nilai jual mrk, tapi klo dari dalem menurut sy malah keropos ketahanan budayanya.. 🙂 yah begitulah yg bnyk terjadi di beberapa daerah di Indonesia. jng sampe jadi seperti suku Aborigin yg berasa pendatan diBenuanya sendiri… 🙂

  6. Halo Tantri, suka banget sama tulisanmu tentang Bali.. semoga pemerintah Bali bisa memberikan yg terbaik untuk wisata Bali dan masyarakatnya (termasuk keluarga Tantri tentunya) bisa mempertahankan budaya, adat istiadat dan historikal Bali dengan baik walopun perkembangan peradaban dan teknologi gak bisa terelakkan..
    Sebagai pendatang yg pernah setahun tinggal di Bali dan turis yg hampir setiap tahun ke Bali emang terasa banget perubahannya.. terutama di Bali bagian tengah ke selatan.. kalau di bagian utara, barat dan timur sih mungkin masih cukup terasa “Bali”nya.. etapiii kemarin di Singaraja juga uda muncul salahsatu resto ayam franchise juga sih, not knowing itu positif atau negatif yaa 🙂

    • Hai mbak Shinta.. iya mbak. Seingat saja dulu sdh pernah ada “gerakan” atau yayasan atau apalah namanya yg tujuannya supaya menjaga Bali tetap bali yang modern tapi tidak terlalu tergerus oleh budaya-budaya yg keliru. Saya sempat gabung ikut didalam yayasan tsb sbg semacam volunteer dan pd saat itu didukung penuh oleh Gubernur dll. Tapi skrng kondisi yg terjadi malah gini. Investor datang tanpa dibatasi dan seolah2 malah mementingkan urusan kantong saja tanpa memperhatikan sisi-sisi lain. Memang sih modernisasi boleh,asal ada batasan dan tidak malah mengarah ke eksploitasi berlebih. Eksploitasi terjadi terlalu besar2an di Bali shg ternyata bnyk juga paper,jurnal,artikel,buku karangan asing yg menggambarkan kondisi perubahan di Bali yg kita sendiri sbg “pemilik” Bali blm tentu ngerti dng kondisi tsb. Tapi, masih ada kok kawasan2 di Bali yg msh memegang teguh tradisinya.. yah semoga suku Bali tidak tergusur seperti suku betawi di jkt, aborigin ataupun india.. 🙂

  7. Selamat siang, artikel yang bagus, kepedulian tentang masa depan sebuah pulau, pulau Bali. Yang menjadi pertanyaan saya, Apakah Bali Milik Orang Bali ? Jika ya, maka pembangunan sudah semestinya mengikuti adat-istiadat Bali yang terus dipegang teguh, seperti Tri Hita Karana .

    Kenyataannya saat ini, Bali BUKAN MILIK ORANG BALI, siapapun yang punya modal dialah pemilik BALI. Pemodal memiliki Bali secara utuh, dari pemimpin hingga rakyat, dari pegunungan hingga lautan, dari sekala hingga mengatur NISKALA….

    Sedangkan kelas idealis yang tetap kukuh (AJEG) menjaga BALI adalah rakyat tanpa modal, bermodal hati nurani, bermodal kekuatan fisik dan kepercayaan akan adat budaya, kepercayaan akan HUKUM KARMA, keyakinan akan “Satyam Eva Jayate” …………

    Kita hanya bisa bicara, menyuarakan hati nurani kepada mereka (pemimpin dan pemodal) dan kepada TUHAN ….

    Awighnamastu ….

    Nakbalibelog

Leave a comment